tampilan nama baru


counters

Selasa, 10 Mei 2011


Bagi warga negara Indonesia dan warga Jakarta khususnya, Monumen Nasional yang lazim disebut Tugu Monas sudah tidak asing lagi. Berada tepat di jantung ibukota negara dan pemerintahan Republik Indonesia, Tugu Monas menjulang tinggi mengalahkan kemegahan bangunan-bangunan di sekelilingnya.
Menurut sejarahnya, bangunan setinggi 128,70 meter ini dibangun pada era Presiden Sukarno, tepatnya tahun 1961. Awalnya, sayembara digelar oleh Sukarno untuk mencari lambing yang paling bagus sebagai ikon ibukota negara. Sang Presiden akhirnya jatuh hati pada konsep Obelisk yang dirancang oleh Friederich Silaban. Namun saat pembangunannya, Sukarno merasa kurang sreg dan kemudian menggantinya dengan arsitek Jawa bernama Raden Mas Soedarsono. Sukarno yang seorang insinyur mendiktekan gagasannya kepada Soedarsono hingga jadilah Tugu Monas seperti yang dapat kita saksikan saat ini.
Proyek mercusuar pembangunan Monumen Nasional tersebut sesungguhnya dilakukan saat kondisi keuangan negara dalam masa kritis yang sangat hebat. Pada saat itu, Sukarno juga tengah mengerjakan proyek lainnya yang mungkin dianggap lebih ‘mulia’, yakni pembangunan Masjid Istiqlal, masjid terbesar se-Asia Tenggara. Dihadapkan pada pilihan sulit, akhirnya Sukarno lebih memilih merampungkan proyek Tugu Monas daripada rumah Allah tadi. Uniknya, kedua proyek besar tersebut selesai saat Presiden Sukarno sudah tidak berkuasa lagi pasca pemberontakan G 30 S PKI.
5 Hal Yang Harus Diketahui Tentang Monas :
1. Ukuran dan Isi Monas
Monas dibangun setinggi 132 meter dan berbentuk lingga yoni. Seluruh bangunan ini dilapisi oleh marmer.
2. Lidah Api
Di bagian puncak terdapat cawan yang di atasnya terdapat lidah api dari perunggu yang tingginya 17 meter dan diameter 6 meter dengan berat 14,5 ton. Lidah api ini dilapisi emas seberat 45 kg. Lidah api Monas terdiri atas 77 bagian yang disatukan.
3. Pelataran Puncak
Pelataran puncak luasnya 11×11 m. Untuk mencapai pelataran puncak, pengunjung bisa menggunakan lift dengan lama perjalanan sekitar 3 menit. Di sekeliling lift terdapat tangga darurat. Dari pelataran puncak Monas, pengunjung bisa melihat gedung-gedung pencakar langit di kota Jakarta. Bahkan jika udara cerah, pengunjung dapat melihat Gunung Salak di Jawa Barat maupun Laut Jawa dengan Kepulauan Seribu.
4. Pelataran Bawah
Pelataran bawah luasnya 45×45 m. Tinggi dari dasar Monas ke pelataran bawah yaitu 17 meter. Di bagian ini pengunjung dapat melihat Taman Monas yang merupakan hutan kota yang indah.
5. Museum Sejarah Perjuangan Nasional
Di bagian bawah Monas terdapat sebuah ruangan yang luas yaitu Museum Nasional. Tingginya yaitu 8 meter. Museum ini menampilkan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Luas dari museum ini adalah 80×80 m. Pada keempat sisi museum terdapat 12 diorama (jendela peragaan) yang menampilkan sejarah Indonesia dari jaman kerajaan-kerajaan nenek moyang Bangsa Indonesia hingga G30S PKI.
Sukarno yang terkenal flamboyan saat itu lebih memilih Monas karena merupakan simbol phallus raksasa. Tidak aneh jika simbol ibukota negaranya adalah simbol kejantanan seorang pria (phallus). Sukarno adalah seorang visioner yang tidak tanggung-tanggung dan berpandangan jauh ke depan. Dia tidak membiarkan pembangunan phallus/lingga sendirian. Saat bersamaan, dia juga memerintahkan pembangunan ‘pasangannya’, yakni Yoni sebagai simbol perempuan, tepat di atas Monas. Jadilah Monas seperti yang terlihat sekarang, sebuah bangunan lambing penyatuan Lingga dan Yoni, simbol laki-laki dan perempuan.
Menurut penuturan Dan Brown dalam novel fenomenalnya, penyatuan Lingga dan Yoni merupakan ritus purba seksual, Persetubuhan Suci (The Sacred Sextum). Ini adalah ritual tertinggi bagi kelompok-kelompok penganut Luciferian (penyembah setan) seperti halnya Ksatria Templar dan Freemasonry.
Monas adalah The Sacred Sextum
Tugu Monas hanyalah salah satu dari obelisk-obelisk lain yang tersebar di pusat-pusat kota seluruh dunia. Obelisk tertua berasal dari kebudayaan Mesir Kuno, simbol menjulang menuju dewa tertinggi bangsa pagan purba (dan modern). Selain Kairo dan Jakarta, obelisk asli Mesir dapat kita saksikan di ibukota penguasa dunia saat ini, Washington DC Amerika Serikat. Lokasinya tepat di depan Capitol Hill tempat presiden-presiden Amerika terpilih mengucapkan sumpahnya secara turun-temurun. Obelisk atau phallus juga bisa kita jumpai tepat di tengah lapangan Basilika Santo Petrus, Vatican City, negara tempat pemimpin umat Katholik Roma sejagat raya. Phallus modern juga dapat berupa obelisk baja yang menjulang di tengah-tengah ibukota Perancis, Paris berupa Menara Eiffel.
Obelisk adalah simbol kejantanan, kekuatan, dan kekuasaan
Jika kita cermati bersama, keberadaan Tugu Monas di jantung ibukota negara Republik Indonesia adalah sebuah ejekan tak kentara terhadap sila pertama Pancasila. Monas adalah lambang Persetubuhan Suci yang dilakukan tanpa malu-malu di sekeliling rumah Tuhan. Dia mengejek Gereja Imanuel, dia mengejek Gereja Katedral, dan dia juga mengejek Masjid Istiqlal. Terhadap rumah Tuhan-rumah Tuhan yang mengelilinginya, Monas seakan mencibir, “Lihatlah aku, aku lebih tinggi dan lebih megah ketimbang kalian, dan yang pasti pengikutku lebih banyak dari penghuni kalian, hahahaha…”
Dan memang ada benarnya, Monas adalah simbol dari tabiat bangsa ini dari waktu ke waktu yang semakin tidak memiliki rasa malu. Di bawah naungannya, di antara rindangnya pepohonan dan rimbunnya semak-semak di sekitarnya, tidak siang tidak malam, banyak manusia yang melakukan ritus purba seperti yang ditunjukkan penyatuan Lingga dan Yoni, Monas. Kebanyakan pelakunya adalah muda-mudi yang tidak tahu diri dan tidak memiliki harga diri lagi.
Dan, rahasia Tugu Monas yang barangkali tidak dapat kita rasakan hingga saat ini adalah bentuk piramida silang Monas jika dilihat dari udara.
Sebelum adanya aplikasi Google Earth, tak banyak manusia yang dapat menyaksikan simbol pagan masyarakat purba (dan modern) dengan seksama seperti saat ini. Sebagai perbandingan, arahkan kursor peta Google Earth tepat di atas Piramida Giza di Kairo, Mesir. Kemudian alihkan kursor ke kota Jakarta tepat di atas komplek Tugu Monas. Jika silang Monas yang tampak dari atas tersebut kita anggap sebagai sisi-sisi piramida dan Tugu Monas yang berada tepat di tengahnya sebagai puncak piramida, terlihat ada kesamaan bentuk dan konsep antara Piramida Giza di Mesir dan ‘Piramida Monas’di Indonesia.


kandungan surat al-mulk


Ibnu Abbas berkata: “Pada suatu hari ada seseorang menghampar jubahnya di atas kuburan dan ia tidak tahu bahwa tempat itu adalah kuburan, ia membaca surat Al-Mulk, kemudian ia mendengar suara jeritan dari kuburan itu: Inilah yang menyelamatkan aku. Kemudian kejadian itu diceriterakan kepada Rasulullah saw. Lalu beliau bersabda: Surat Al-Mulk dapat menyelamatkan penghuni kubur dari azab kubur.” (Ad-Da’awat Ar-Rawandi, hlm 279/817; Al-Bihar 82/ 64, 92/313/2, 102/269/
Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Surat Al-Mulk adalah penghalang dari siksa kubur, surat ini termaktub di dalam Taurat, barangsiapa yang membacanya di malam hari ia akan memperoleh banyak manfaat dan kebaikan, …Sungguh aku membacanya dalam shalat sunnah sesudah Isya’ dalam keadaan duduk. Ayahku (sa) membacanya pada siang dan malam. Barangsiapa yang membacanya, maka ketika malaikat Munkar dan Nakir akan masuk ke kuburnya dari arah kedua kakinya, kedua kakinya berkata kepada mereka: kalian tidak ada jalan ke arahku, karena hamba ini berpijak padaku lalu ia membaca surat Al-Mulk setiap siang dan malam; ketika mereka datang kepadanya dari rongganya, rongganya berkata kepada mereka: kalian tidak ada jalan ke arahku, karena hamba ini telah menjagaku dengan surat Al-Mulk; ketika mereka datang kepadanya dari arah lisannya, lisannya berkata kepada mereka: kalian tidak ada jalan ke arahku, karena hamba ini telah membaca surat Al-Mulk setiap siang dan malam denganku.” (Al-Kafi 2/233/hadis 2)
Imam Muhammad Al-Baqir (sa): “Bacalah surat Al-Mulk, karena surat ini menjadi penyelamat dari siksa kubur.”


Berikut kita akan melanjutkan beberapa faedah lagi dari surat Al Mulk. Semoga kita bisa lebih memahami tersebut dan mengamalkan kandungan di dalamnya.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ (12) وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (13) أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (14) هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ (15)
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya di saat mereka tidak tampak di hadapan yang lainnya, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar. Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati. Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al Mulk: 12-15)


Keutamaan Taat dan Takut pada Allah Di Kesunyian
Setelah sebelumnya Allah menyebutkan keadaan orang-orang fajir (kafir), selanjutnya Allah menyebutkan keadaan orang-orang yang berbuat baik dan akan menuai kebahagiaan.
Dalam surat Al Mulk ayat 12, penulis Tafsir Al Jalalain menjelaskan, “Mereka itu takut pada Allah di kesunyian ketika mereka tidak nampak di hadapan manusia lainnya. Mereka pun taat pada Allah dalam keadaan sembunyi-sembunyi. Tentu saja dalam keadaan terang-terangan, mereka pun lebih taat lagi pada Allah.[1]
Intinya mereka itu taat pada Allah meskipun di kesunyian. Syaikh As Sa’di menjelaskan, “Mereka takut pada Allah dalam setiap keadaan sampai-sampai pada keadaan yang tidak ada yang mengetahui amalan mereka kecuali Allah. Mereka tidak melakukan maksiat dalam kesunyian. Mereka pun tidak mengurangi ketaatan mereka ketika itu.”[2]
Namun kita mungkin sangat jauh dari sifat baik semacam ini. Di kala sepi kita berani berbuat maksiat, padahal Allah menyaksikan kita dan di kala terang-terangan kita pun berani mendurhakai Allah dengan riya’ tatkala melakukan amalan. Semoga Allah menunjuki kita pada sifat yang mulia ini.
Ingatlah keutamaan yang mulia yang diperoleh oleh orang yang beramal dan takut pada Allah di kala sepi, yaitu:
1.     Akan mendapatkan ampunan dari setiap dosa, begitu pula akan dilindungi dari kejelekan dan siksa neraka.
2.     Mereka akan mendapatkan ganjaran besar yaitu berbagai kenikmatan yang Allah janjikan di surga.
Keutamaan Ihsan dalam Ibadah
Untuk ayat,
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ
terdapat penafsiran lainnya dari para ulama. Intinya, ada  empat penafsiran mengenai ayat ini:
1.     Mereka takut pada Allah, namun mereka tidak melihat-Nya”. Inilah pendapat mayoritas ulama.
2.     “Mereka sangat takut akan siksa Allah walaupun mereka tidak melihat-Nya”. Inilah pendapat Maqotil.
3.     Mereka takut pada Allah ketika tidak ada satu pun yang menyaksikan mereka”. Inilah pendapat Az Zujaj.
4.     Mereka takut pada Allah jika mereka bersendirian (tidak tampak di hadapan manusia) sebagaimana mereka takut jika mereka berada di hadapan manusia”. Inilah pendapat Abu Sulaiman Ad Dimasyqi.[3]
Tafsiran ketiga telah dijelaskan pada point sebelumnya. Tafsiran ketiga ini hampir sama dengan tafsiran keempat.
Sedangkan tafsiran pertama dan kedua hampir sama. Untuk tafsiran pertama inilah yang kita sering lihat pada terjemahan Al Qur’an (termasuk terjemahan DEPAG RI) sebagaimana pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Sehingga biasanya ayat tersebut diartikan:
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka.” (QS. Al Mulk: 12)
Berdasarkan tafsiran menunjukkan keutamaan dari orang yang berbuat ihsan. Mereka akan mendapatkan dua keutamaan yang disebutkan dalam lanjutan ayat,
لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Mulk: 12)
Lalu apa yang dimaksud ihsan? Pengertian ihsan dalam ibadah sebagaimana ditafsirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits jibril. Ketika ditanya oleh Jibril –yang berpenampilan Arab Badui- mengenai ihsan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu melihat-Nya, Allah akan melihatmu”.[4][5]
Dalam pengertian ihsan ini terdapat dua tingkatan. Tingkatan pertama disebut tingkatan musyahadah yaitu seseorang beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan bahwa yang dimaksudkan di sini adalah bukanmelihat zat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat Ihsan.
Tingkatan kedua disebut dengan tingkatan muroqobah yaitu apabila seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin Allah melihatnya. Dan tingkatan inilah yang banyak dilakukan oleh banyak orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya.[6]
Keutamaan Beriman pada yang Ghoib
Berdasarkan salah satu penafsiran surat Al Mulk ayat 12, ayat ini menunjukkan keutamaan beriman pada yang ghoib dan keutamaan meyakini adanya kedekatan Allah ketika sendirian atau pun terang-terangan.[7]
Khouf (Takut) yang Membuat Seseorang Menjauh dari Maksiat
Dari ayat ini juga menunjukkan bahwa dengan rasa khouf (takut) membuat seseorang menjauh dari maksiat. Sehingga ketika seseorang mau terjerumus dalam maksiat hendaklah ia memperkuat rasa takut pada Allah. Jangan malah ketika mau terjerumus dalam maksiat ia kedepankan roja’ (harap) pada Allah. Ketika berbuat maksiat malah ia ingat-ingat bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat. Ini sikap yang keliru, malah ia akan terus menerus dalam dosa. Yang benar, ketika seseorang dalam keadaan mau terjerumus dalam maksiat, hendaklah ia kedepankan rasa khouf (takut) pada Allah. Namun ketika ia dalam kondisi sudah terjerumus dalam berbagai maksiat, maka hendaklah ia kedepankan rasa roja’ (harap) ketika itu.
Tujuannya apa? Tujuannya, jika seseorang mengedapankan rasa takut pada Allah ketika hendak berbuat maksiat, maka ia pasti akan mengurungkan berbuat maksiat. Sedangkan mengedepankan rasa harap ketika bergelimang dosa akan membuatnya tidak berputus asa dari rahmat Allah. Perhatikanlah perbedaan dua hal ini.
Rasa Takut pada Allah Membuat Seseorang Mendapat Naungan-Nya
Keutamaan orang yang takut pada Allah di kesunyian juga disebutkan dalam sebuah hadits muttafaqun ‘alaih (disepakati Bukhari dan Muslim),
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِى ظِلِّهِ ، يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِى عِبَادَةِ اللَّهِ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ فِى خَلاَءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِى الْمَسْجِدِ ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِى اللَّهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّى أَخَافُ اللَّهَ . وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا ، حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ
Tujuh golongan yang di mana mereka akan mendapatkan naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan dari-Nya, yaitu: [1] pemimpin yang adil, [2] seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah pada Allah, [3] seseorang yang mengingat Allah di kesunyian lalu meneteslah air matanya, [4] seseorang yang hatinya selalu terkait dengan masjid, [5] seseorang yang saling mencintai karena Allah, [6] seseorang yang diajak oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan untuk menyetubuhinya namun ia katakan, “Aku takut pada Allah, [7] seseorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kanannya.[8] Lihatlah orang yang mengingat Allah di kesunyian (tanpa ada yang melihatnya kecuali Allah) lalu ia meneteskan air mata dan orang yang diajak berzina namun ia takut pada Allah. Inilah keutamaan dari orang yang beribadah dan takut pada Allah sedangkan manusia-manusia tidak mengetahuinya, mereka akan mendapatkan naungan ‘Arsy[9] Allah.[10]
Luasnya Ilmu Allah
Segala sesuatu itu sama di sisi Allah baik yang dilirihkan maupun yang dikeraskan. Tidak ada yang samar sedikit pun baginya. Allahh Ta’ala berfirman,
وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. Al Mulk: 13)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada dalam hati berupa berbagai niat dan keinginan. Bagaimanakah lagi dengan perkataan dan perbuatan yang Allah dengar dan lihat?!
Inilah dalil logika yang menunjukkan keluasan ilmu Allah.[11] Kemudian Allah membuktikan hal ini dengan mengatakan,
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (14)
Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al Mulk: 14). Maksud ayat ini adalah: “Apakah mereka tidak mengetahui Allah yang Maha Lathif dan Khobir?[12]
Allah Itu Lathif dan Khobir
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
أَنَّهُ لَطِيفٌ يُدْرِكُ الدَّقِيقَ خَبِيرٌ يُدْرِكُ الْخَفِيَّ وَهَذَا هُوَ الْمُقْتَضِي لِلْعِلْمِ بِالْأَشْيَاءِ
“Allah itu Lathif, maksudnya mengetahui segala sesuatu secara detail. Dan Khobir, maksudnya mengetahui segala yang tersembunyi (samar). Hal ini menunjukkan luasnya ilmu Allah terhadap segala sesuatu.”[13]
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah mengatakan makna Al Lathif itu ada 2:
1.     Allah mengetahui segala sesuatu secara detail.
2.     Allah selalu berbuat baik, penyayang terhadap hamba-hambaNya.[14]
Allah Menundukkan Bumi dan Beri Kemudahan untuk Dijelajahi
Allah Ta’ala selanjutnya berfirman,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ
Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya.” (QS. Al Mulk: 15).
Manakibiha” dalam ayat di atas ada tiga tafsiran, yaitu:
1.     Jalan, sehingga maknanya, “Maka berjalanlah di segala jalan.” Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas dan Mujahid.
2.     Gunung, sehingga maknanya, “Maka berjalanlah di setiap gunung.” Jika gunung saja mampu ditempuh, maka lebih-lebih daerah yang rendah di bawahnya. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas lainnya, pendapat Qotadah dan Az Zujaj.
3.     Penjuru, sehingga maknanya, “Maka berjalanlah di setiap penjuru bumi.” Ini adalah pendapat Maqotil, Al Farro’, Abu ‘Ubaidah, dan Ibnu Qutaibah.[15] Makna inilah yang dipakai oleh terjemahan DEPAG RI.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan ayat di atas, “Sesungguhnya Allah yang menundukkan bumi bagi kalian agar kalian bisa memenuhi berbagai kebutuhan (hajat) kalian.”[16] Ini menunjukkan nikmat Allah dengan memberikan segala kemudahan bagi setiap manusia. Maka Allah-lah yang pantas dipuji dan disanjung.
Tawakkal Bukan Berarti Meninggalkan Kerja dan Usaha
Dalam surat Al Mulk ayat 15 di atas juga menunjukkan disyariatkannya berjalan di muka bumi untuk mencari rizki dengan berdagang, bertani, dsb.[17]
Ini menunjukkan bahwa tawakkal bukan berarti meninggalkan kerja dan usaha.
Sahl At Tusturi mengatakan, ”Barangsiapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan). Barangsiapa mencela tawakkal (tidak mau bersandar pada Allah) maka dia telah meninggalkan keimanan.” (Jaami'ul Ulum wal Hikam). Silakan lihat pembahasan selengkapnya di sini.
Hanya Kepada Allah-lah Tempat Kembali
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al Mulk: 15)
Ibnul Jauzi menafsirkan, “Kalian akan dibangkitkan dari kubur-kubur kalian.”[18] Hal ini menunjukkan adanya hari berbangkit dan hari pembalasan[19].
Demikian beberapa faedah tafsir surat Al Mulk untuk saat ini. Semoga kita selalu dimudahkan oleh Allah untuk mentadabburi  (merenungkan) kitab-Nya yang mulia.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal



SURAT AN-NABA
(Berita Besar)
Makkiyah, 40 ayat
Turun sesudah Surat Al-Ma’arij
JUZ 30
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
An-Naba, ayat 1 – 16
عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ (1) عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ (2) الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ (3) كَلا سَيَعْلَمُونَ (4) ثُمَّ كَلا سَيَعْلَمُونَ (5) أَلَمْ نَجْعَلِ الأرْضَ مِهَادًا (6) وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا (7) وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا (8) وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا (9) وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (10) وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (11) وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا (12) وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا (13) وَأَنزلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14) لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا (15) وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا (16)
Tentang apakah mereka saling bertanya? Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini. Sekali – kali tidak; kelak mereka akan mengetahui, kemudian sekali – kali tidak; kelak mereka akan mengetahui. Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? Dan gunung – gunung sebagai pasak? Dan Kami jadikan kalian berpasang – pasangan, dan Kami jadikan tidur kalian untuk istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, dan Kami bangun di atas kalian tujuh buah (langit) yang kokoh, dan Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji – bijian dan tumbuh – tumbuhan, dan kebun – kebun yang lebat?
يقول تعالى منكرا على المشركين في تساؤلهم عن يوم القيامة إنكارا لوقوعها
Allah swt berfirman, mengingkari orang – orang musyrik karena mereka saling bertanya tentang hari kiamat dengan rasa tidak percaya akan kejadiannya.
عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ (1) عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ (2)
Tentang apakah mereka saling bertanya? Tentang berita yang besar. (An-Naba : 1-2)
أي عن أي شيء يتساءلون عن أمر القيامة وهو النبأالعظيم يعني الخبر الهائل المفظع الباهر قال قتادة وبن زيد النبأ العظيم البعث بعد الموت وقال مجاهد هو القرآن والأظهر الأول لقوله
Yakni apakah yang dipertanyakan mereka? Tentang hari kiamat, yaitu berita yang besar, yakni berita yang amat besar, amat mengerikan, lagi amat mengejutkan. Qatadah dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa yang dimaksud dengan berita besar ini ialah kebangkitan sesudah mati. Mujahid mengatakannya Al-Qur’an, tetapi yang jelas adalah pendapat yang pertama, karena dalam firman berikutnya disebutkan :
الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ (3)
yang mereka perselisihkan tentang ini. (An-Naba : 3)
يعني الناس فيه على قولين مؤمن به وكافر ثم قال تعالى متوعدا لمنكري القيامة
Manusia dalam hal ini ada dua macam, ada yang beriman kepadanya dan ada yang kafir. Kemudian Allah swt dalam firman berikutnya mengancam orang – orang yang ingkar dengan adanya hari kiamat.
كَلا سَيَعْلَمُونَ (4) ) ثُمَّ كَلا سَيَعْلَمُونَ (5)
Sekali – kali tidak; kelak mereka akan mengetahui, kemudian sekali – kali tidak; kelak mereka akan mengetahui. (An-Naba : 4-5).
وهذا تهديد شديد ووعيد أكيد ثم شرع تبارك وتعالى يبين قدرته العظيمة على خلق الأشياء الغريبة والأمور العجيبة الدالة على قدرته على ما يشاء من أمر المعاد وغيره فقال
Ini merupakan peringatan yang tegas dan ancaman yang keras. Kemudian Allah menjelaskan tentang kekuasaan-Nya yang besar melalui ciptaan-Nya terhadap segala sesuatu yang besar lagi menakjubkan, yang semuanya itu menunjukkan kekuasaan-Nya atas segala sesuatu yang dikehendaki-Nya, termasuk masalah hari berbangkit dan lain – lainnya. Untuk itu Allah swt berfirman :
أَلَمْ نَجْعَلِ الأرْضَ مِهَادًا (6)
Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? (An-Naba : 6)
أي ممهدة للخلائق ذلولا لهم قارة ساكنة ثابتة
Maksudnya, telah dihamparkan-Nya dan dijadikan-Nya layak untuk dihuni oleh makhluk-Nya, lagi tetap, tenang, dan kokoh.
وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا (7)
Dan gunung – gunung sebagai pasak? (An-Naba : 7)
أي جعلها لها أوتادا أرساها بها وثبتها وقررها حتى سكنت ولم تضطرب بمن عليها ثم قال تعالى
Dia menjadikan pada bumi pasak – pasak untuk menstabilkan dan mengokohkannya serta memantapkannya sehingga bumi menjadi tenang dan tidak mengguncangkan orang – orang dan makhluk yang ada di atasnya.
Kemudian Allah swt berfirman :
وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا (8)
Dan Kami jadikan kalian berpasang – pasangan. (An-Naba : 8)
يعني ذكرا وأنثى يتمتع كل منهما بالآخر ويحصل التناسل بذلك كقوله
Yaitu dari jenis laki – laki dan perempuan, masing – masing dapat bersenang – senang dengan lawan jenisnya, dan karenanya maka dapat berkembanglah keturunan mereka. Seperti yang disebutkan dalam ayam lain melalui firman Allah swt :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً
Dan di antara tanda – tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri – istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. (Ar-Rum : 21)
وقوله تعالى
Adapun firman Allah swt :
وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا (9)
Dan kami Jadikan tidur kalian untuk istirahat. (An-Naba : 9)
أي قطعا للحركة لتحصل الراحة من كثرة الترداد والسعي في المعايش في عرض النهار وقد تقدم مثل هذه الأية في سورة الفرقان
Yakni istirahat dari gerak agar tubuh kalian menjadi segar kembali setelah banyak melakukan aktivitas dalam rangka mencari upaya penghidupan di sepanjang hari. Hal seperti ini telah diterangkan di dalam tafsir surat Al-Furqan.
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (10)
Dan kami jadikan malam sebagai pakaian. (An-Naba : 10)
أي يغشي الناس ظلامه وسواده كما قال
Yang menutupi semua manusia dengan kegelapannya, seperti disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya :
وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا
dan malam apabila menutupinya. (Asy-Syams : 4)
وقال الشاعر فلما لبسن الليل أو حين نصبت له من خذا آذانها وهو جانح وقال قتادة في قوله تعالى
Dan ucapan seorang penyair yang mengatakan dalam salah satu bait syairnya, “Dan manakala malam mulai menggelarkan kain penutupnya, maka seluruh semesta menjadi gelap.”
Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya :
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (10)
Dan kami jadikan malam sebagai pakaian. (An-Naba : 10)
أي سكنا وقوله تعالى
Maksudnya, ketenangan.
وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (11)
Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan. (An-Naba : 11)
أي جعلناه مشرقا نيرا مضيئا ليتمكن الناس من التصرف فيه والذهاب والمجيء للمعاش والتكسب والتجارات وغير ذلك وقوله تعالى
Kami menjadikannya terang benderang agar manusia dapat melakukan aktivitasnya untuk mencari upaya penghidupan dengan bekerja, berniaga, dan melakukan urusan lainnya.
Firman Allah swt :
وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا (12)
Dan Kami bangun di atas kalian tujuh buah (langit) yang kokoh. (An-Naba : 12)
يعني السماوات السبع في اتساعها وارتفاعها وإحكامها وإتقانها وتزيينها بالكواكب الثوابت والسيارات ولهذا قال تعالى
Yaitu tujuh lapis langit dengan segala keluasannya, ketinggiannya, kekokohannya, dan kerapihannya serta hiasannya yang dipenuhi dengan bintang – bintang, baik yang tetap maupun yang beredar. Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan :
وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا (13)
Dan Kami jadikan pelita yang amat terang. (An-Naba : 13)
يعني الشمس المنيرة على جميع العالم التي يتوهج ضوؤها لأهل الأرض كلهم وقوله تعالى
Yakni matahari yang menerangi semesta alam, yang cahayanya menerangi seluruh penduduk bumi.
Firman Allah swt :
وَأَنزلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14)
Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah. (An-Naba : 14)
قال العوفي عن بن عباس المعصرات الريح وقال بن أبي حاتم ثنا أبو سعيد ثنا أبو داود الحفري عن سفيان عن الأعمش عن المنهال عن سعيد بن جبير عن بن عباس
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan al-mu’siratialah angin. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id, telah menceritakan kepada kami Abu Daud Al-Hafari, dari Sufyan, dari Al-A’masy, dari Al-Minhal, dari Said ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya :
وَأَنزلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ
Dan Kami turunkan dari awan (An-Naba : 14)
قال الرياح وكذا قال عكرمة ومجاهد وقتادة ومقاتل والكلبي وزيد بن أسلم وابنه عبد الرحمن أنها الرياح ومعنى هذا القول أنها تستدر المطر من السحاب وقال علي بن أبي طلحة عن بن عباس من المعصرات أي من السحاب وكذا قال عكرمة أيضا وأبو العالية والضحاك والحسن والربيع بن أنس والثوري واختاره بن جرير وقال الفراء هي السحاب التي تتحلب بالمطر ولم تمطر بعد كما يقال امرأة معصر إذا دنا حيضها ولم تحض وعن الحسن وقتادة من المعصرات يعني السماوات وهذا قول غريب والأظهر أن المراد بالمعصرات السحاب كما قال تعالى
Bahwa makna yang dimaksud ialah dari angin. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah, Mujahid, Qatadah, Muqatil, Al-Kalabi, Zaib ibnu Aslam, dan putranya (yaitu Abdur Rahmah), semuanya mengatakan bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan mu’sirat ialah angin. Dikatakan demikian karena anginlah yang meniup awan yang mengandung air, hingga awan itu menurunkan kandungan airnya dan terjadilah hujan. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, “Al-Mu’sirat,” bahwa makna yang dimaksud ialah awan yang mengandung air hujan. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah, Abul Aliyah, Ad-Dahhak, Al-Hasan, Ar-Rabi’ ibnu Anas, dan As-Sauri, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir. Al-Farra mengatakan bahwa mu’sirat ialah awan yang mengandung air dan masih belum diturunkan, sebagaimana yang dikatakan terhadap seorang wanita yangmu’sir artinya ‘bilamana masa haidnya tiba, sedangkan sebelum itu tidak pernah haid’.
Diriwayatkan pula dari Al-Hasan dan Qatadah, bahwa minal mu’sirat artinya dari langit, tetapi pendapat ini garib. Dan yang jelas adalah pendapat yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan mu’sirat ialah awan yang mengandung air, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya :
اللَّهُ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَاباً فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَاء كَيْفَ يَشَاءُ وَيَجْعَلُهُ كِسَفاً فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ
Allah, Dialah yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkkan awan dan Allah membentangkannya dilangit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal ; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah – celahnya.(Ar-Rum : 48).
أي من بينه وقوله جل وعلا
Adapun firman Allah swt :
مَاءً ثَجَّاجًا (14)
Air yang banyak tercurah. (An-Naba : 14)
قال مجاهد وقتادة والربيع بن أنس ثجاجا منصبا وقال الثوري متتابعا وقال بن زيد كثيرا قال بن جرير ولا يعرف في كلام العرب في صفة الكثرة الثج وإنما الثج الصب المتتابع ومنه قول النبي aأفضل الحج العج والثج يعني صب دماء البدن هكذا قال قلت وفي حديث المستحاضة حين قال لها رسول الله aأنعت لك الكرسف يعني أن تحتشي بالقطن فقالت يا رسول الله هو أكثر من ذلك إنما أثج ثجا وهذا فيه دلالة على استعمال الثج في الصب المتتابع الكثير والله أعلم وقوله تعالى
Mujahid, Qatadah, dan Ar-Rabi’ ibnu Anas mengatakan bahwa sajjaajan artinya tercurah. As-Sauri mengatakan berturut – turut, Ibnu Zaid mengatakan artinya banyak. Ibnu Jarir mengatakan bahwa tidak diketahui dalam pembicaraan orang Arab untuk menggambarkan hal yang banyak memakai kata as-sajj, melainkan menunjukkan pengertian curahan yang berturut – turut. Termasuk ke dalam pengertian ini sabda Nabi saw yang mengatakan :
أفضلُ الحجّ العجّ والثجّ
Haji yang paling afdal ialah yang banyak debunya dan banyak mengalirkan darah kurban.
Yakni mengalirkan darah hewan kurban. Menurut hemat saya, demikian pula dalam hadis wanita yang mustahadah (keputihan) saat Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Aku anjurkan kamu memakai penyumbat dari katun.” Maka wanita itu menjawab, “Wahai Rasulullah, darah itu lebih banyak daripada yang engkau perkirakan, sesungguhnya ia mengalir dengan sederas – derasnya.” Hal ini menunjukkan adanya penggunaan kata as-sajj untuk menunjukkan pengertian curahan yang berturut – turut lagi banyak; hanya Allah jualah Yang Maha Mengetahui.
Firman Allah swt :
لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا (15) وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا (16) }
Supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji – bijian dan tumbuh – tumbuhan, dan kebun – kebun yang lebat? (An-Naba : 15 -16)
أي لنخرج بهذا الماء الكثير الطيب النافع المبارك ( حبا ) يدخر للأناسي والأنعام ( ونباتا ) أي خضرا يؤكل رطبا ( وجنات ) أي بساتين وحدائق من ثمرات متنوعة وألوان مختلفة وطعوم وروائح متفاوتة وإن كان ذلك في بقعة واحدة من الأرض مجتمعا ولهذا قال ( وجنات ألفافا ) قال بن عباس وغيره ألفافا مجتمعة وهذه كقوله تعالى ( وفي الأرض قطع متجاورات وجنات من أعناب وزرع ونخيل صنوان وغير صنوان يسقى بماء واحد ونفضل بعضها على بعض في الأكل إن في ذلك لآيات لقوم يعقلون
Yaitu agar melalui air yang banyak, baik, bermanfaat, lagi mengandung berkah ini Kami tumbuhkan biji – bijian untuk manusia dan hewan, dan Kami tumbuhkan pula sayur – sayuran yang dapat dimakan secara mentah, Kami tumbuhkan pula taman – taman dari kebun – kebun yang menghasilkan berbagai macam buah – buahan yang beraneka ragam rasa dan baunya, yang adakalanya kesemuanya itu dapat dijumpai dalam satu kawasan tanah. Karena itulah maka disebutkan alfafan, yang menurut Ibnu Abbas dan lain – lainnya artinya lebat. Hal ini berarti sama dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya :
وَفِي الأَرْضِ قِطَعٌ مُّتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِّنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَاء وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي الأُكُلِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Dan di bumi ini terdapat bagian – bagian yang berdampingan, dan kebun – kebun anggur, tanam – tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (Ar-Ra’d : 4)


17. Sesungguhnya Hari Keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan.
Kemudian terjadilah perubahan yang tiba-tiba. Hari Keputusan (atau Hari Pembalasan) adalah hari pemilahan dan pemisahan, hari kejelasan. Saat itu segala sesuatu jelas-jelas dipisahkan secara adil lalu dimasukkan ke tempatnya masing-masing, yang baik dengan yang baik dan yang buruk dengan yang buruk. Pada hari ini tidak akan ada lagi ketidakpastian. Kata yang diterjemahkan di sini sebagai ‘keputusan’ (fashl), berasal dari akar kata kerja fashala yang artinya ‘memisahkan, memencilkan, membuat suatu keputusan tanpa ada keraguan sedikit pun’—tidak ada bidang yang samar-samar (tidak jelas). Fashala juga berarti ‘menyapih’, karena tindakan menyapih itu memisahkan seorang bayi dari sumber makanan pertamanya, yakni ibunya. Kata Arab untuk ‘patokan yang tegas’ (fayshal) berasal dari kata kerja yang sama (yakni fashala), dan juga berarti ‘hakim’ atau ‘pedang pemisah’.
Ayat ini menyiratkan bahwa sekarang ini bukanlah hari kejelasan, tapi lebih merupakan hari kebingungan dimana kita tidak tahu apakah sesuatu itu benar atau salah, atau apakah kita sudah berada dalam keimanan yang benar atau belum. Paling banter, ada semacam kearifan pada hari ini, dan setidaknya ada upaya untuk membedakan dengan mengingat Allah. Tapi pada hari itu, setelah kematian, tidak akan ada kebingungan lagi. Penghuni neraka akan berada di dalam neraka, penghuni surga akan berada di dalam surga, dan segala sesuatu akan nampak jelas dalam pandangan Pencipta Yang Adil.
Waktu yang ditetapkan untuk peristiwa ini sudah pasti. Mîqât berasal dari waqt yang artinya ‘waktu yang sudah ditentukan dan pasti, suatu batas waktu’ atau ‘saat pertemuan’. Kita semua akan bertemu pada hari itu yang disebut Hari Pertemuan, saat setiap orang akan dikumpulkan untuk menjalani perhitungan terakhir (dihisab).
يَوْمَ يُنفَخُ فِي الصُّورِ فَتَأْتُونَ أَفْوَاجًا
18. Hari ketika sangkakala ditiup kamu akan datang berkelompok-kelompok.
Ini berkenaan dengan Hari ketika malaikat Israfil meniup terompet cahaya untuk mematikan semua cahaya kecuali satu-satunya Cahaya. Pada hari itu tidak ada cara untuk melihat segala sesuatu kecuali melalui Cahaya Allah yang sejati. Ketika suara sangkakala yang kedua diperdengarkan, itulah pertanda Kebangkitan. Yang ada hanyalah Cahaya Sang Pencipta, dan tidak ada yang mengintervensi. Bangsa-bangsa akan muncul dipenuhi dengan suku-suku, keluarga-keluarga dan rumahtangga-rumahtangga. Mereka akan datang secara bergelombang mengikuti irama, dan di dalam kelompok-kelompok ini akan ada jiwa-jiwa yang memimpin mereka, yakni para rasul dan nabi. Alquran mengatakan bahwa satu Hari itu menurut perhitungan Allah sama dengan 50.000 tahun menurut perhitungan manusia. Semakin dekat kepada Allah—Yang Tak Berbatas Waktu—semakin jelas relativitas waktunya. Waktu yang sesaat bagi Allah akan terasa tiada akhir bagi kita.
وَفُتِحَتِ السَّمَاءُ فَكَانَتْ أَبْوَابًا
19. Dan dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu,
Kekuatan yang sekarang menyatukan langit-langit tidak akan ada lagi, seolah-olah pintu keluar-masuk ke zona-zona lain telah diciptakan. Ketika penataan ulang ini berlangsung, seluruh energi penciptaan akan lepas melalui pintu-pintu tersebut. Lelangit tidak akan lagi menyatu sebagai sebuah struktur tunggal, tapi akan mengikuti kecenderungan baru, yang merupakan penghancurannya, dan akan kembali ke keadaannya semula, yakni lenyap dalam kekuasaan Sang Pencipta. Selain tujuh lapis langit yang kuat, akan ada beberapa saluran yang melalui saluran tersebut bisa terlihat bahwa secara pelan-pelan segala sesuatu sedang bergerak mundur.
وَسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًا
20. Dan gunung-gunung akan dijalankan sehingga bagaikan fatamorgana.
Gunung-gunung yang sekarang nampak laksana sosok-sosok yang kokoh, akan lenyap sehingga nampak bagaikan fatamorgana. Terjemahan umum untuk sarâb adalah ‘fatamorgana’. Akar katanya adalah sariba yang berarti ‘lambat laun habis, lenyap di depan mata tanpa ketahuan’. Semakin dekat kita bergerak ke arah fatamorgana, semakin jauh kelihatannya, dan selamanya takkan pernah bisa ditangkap. Ini menunjukkan adanya tingkat kesadaran lain di mana zat dan energi akan saling bertukar dan saling memberi. Gunung-gunung tidak akan menjadi fatamorgana, tapi mereka akan berubah bentuk dengan cara yang tidak bisa dipahami (rahasia), yakni mereka akan lebur kembali menjadi wujud yang tak kentara, kembali menjadi bentuk energi yang semakin halus, kembali ke ketiadaan yang merupakan asalnya.
Runtuhnya penciptaan merupakan pembalikan transformatif dari proses penciptaan. Berawal dari ketiadaan kemudian muncullah bentuk-bentuk zat yang paling halus (berupa gas), yang kemudian memadat dan menjadi cair. Setelah mendingin dan mengeras, siklus air pun mulai. Kemudian muncullah tanam-tanaman dan terjadi siklus penciptaan yang konstan, yang dapat kita saksikan selama tempo hidup kita yang singkat ini. Namun kemudian proses tersebut akan berbalik di mana setahap demi setahap penciptaan kembali ke asalnya.

إِنَّ جَهَنَّمَ كَانَتْ مِرْصَادًا
21. Sesungguhnya neraka jahanam bersembunyi mengintai.
Jahannam (neraka) adalah salah satu nama yang digunakan dalam Alquran sebagai lawan dari jannah (surga). Kata ini dihubungkan dengan akar kata jabuma (bermuka masam) danjahm (suram, muram, merengut, murung). Kata benda yang sekaitan adalah jahnîm,artinya ‘lubang yang tak berujung (berdasar)’ dan di tempat seperti itu tidak ada kestabilan maupun kedamaian. Sifat dasar manusia adalah mencari keamanan dan juga kepastian. Sementara, ketidakpastian terburuk yang dapat dialami semua orang adalah dijebloskan ke dalam lubang yang tak berujung itu dan menggelepar-gelepar di sana tanpa daya selamanya.
Maksud dari sesuatu yang ‘bersembunyi mengintai’ itu menunjukkan adanya proses penyergapan (mirshâd). Mirshâd berasal dari rashada, artinya ‘mengawasi sesuatu dengan sungguh-sungguh’, laksana seekor kucing yang sedang mengawasi seekor tikus di lubang tikus. Dalam bahasa Arab modern, mirshâd berarti ‘teleskop’. Dengan menggunakan sebuah teleskop kita dapat mengamati bintang dalam jangkauan ruang penglihatan kita. Jadi lubang tak berujung ini, yang menimbulkan kesulitan tiada akhir kepada kita, sebenarnya sedang mengintai kita, mengamati lansekap untuk menangkap orang-orang yang termasuk dalam ‘ruang penglihatan’-nya.
لِلْطَّاغِينَ مَآبًا
22. Tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas.
Setiap sistem mempunyai batas, dan kalau kita berjalan melampaui batas-batas tersebut berarti kita melanggar. Itulah yang dimaksud dengan thaghâ. Jika di dalam sistem tersebut kita melampaui batas-batasnya maka kita akan hancur sehancur-hancurnya. Jahanam—ketakbertepian yang abadi dan terakhir—adalah tempat kembali bagi orang-orang yang melanggar (al-tâghîn). Berarti, mereka yang melampaui batas dalam kehidupan ini sebenarnya sedang dalam perjalanan menuju tempat tinggal terakhir itu. Dengan melakukan segala perbuatan dan niat yang salah mereka sudah sedang bergerak ke dalam medan api (penderitaan) dan kekacauan.
Alquran mengartikan api terakhir sebagai nâr al-kubrâ (api besar, api abadi). Kalau api besar itu adalah api terakhir, maka berarti nâr al-shughrâ (api kecil) sudah dapat dirasakan di sini dan saat ini juga. Api kecil adalah sesuatu yang kita rasakan dalam kehidupan ini yang disebabkan oleh kejahilan dan kezaliman kita. Banyak ayat lain dalam Alquran yang menyatakan bahwa barangsiapa melampaui batas maka ia sudah berada dalam jahanam kecil di alam kehidupan ini. Mungkin saja ia tidak menyadarinya, tapi yang jelas ia mengisi jahanam kecil itu dengan bahan bakar berupa kemarahan, ketidakteguhan dan kebenciannya. Andaikan ia mau secara serius merenungkan keadaannya, maka ia akan mengetahui apakah dirinya sedang bergerak memasuki taman ataukah api. Ayat ini menyebutkan ‘tempat kembali’, seakan-akan para pelanggar berlindung di dalamnya (di tempat kembali itu). Hal yang sama terjadi pada penghuni taman (surga). Alquran memberitahukan bahwa ketika mereka mendapati dirinya berada di dalam taman pada kehidupan mendatang, mereka akan berkata, ‘kami selalu ingat tempat ini!’ Ini berarti mereka pernah mengalami berbagai aspek suasana taman dalam kehidupan ini.
Kita mempersiapkan suasana atau kondisi yang akan meliputi kita di alam kesadaran mendatang. Pada saat mati, kita akan memasuki dan menjalani keadaan terakhir yang tak dapat diubah, dan keadaan tersebut diciptakan oleh segala niat dan perbuatan kita sewaktu hidup. Karena itu, kehidupan mendatang merupakan hasil yang kita peroleh, dan merupakan rangkaian kesatuan dari keadaan terakhir kita dalam kehidupan ini.
لَابِثِينَ فِيهَا أَحْقَابًا
23. Tinggal di dalamnya selama-lamanya.
لَّا يَذُوقُونَ فِيهَا بَرْدًا وَلَا شَرَابًا
24. Mereka tidak merasakan kesejukan dan minuman di dalamnya,
إِلَّا حَمِيمًا وَغَسَّاقًا
25. Selain air yang mendidih dan dingin yang melumpuhkan,
Orang-orang yang niat dan perbuatannya tidak padu, dan menjalani kehidupannya dengan keterputusan dan amburadul, akhirnya akan memasuki pergolakan yang sangat dahsyat, yakni suatu kondisi yang tidak mendatangkan kedamaian maupun keterpusatan. Mereka akan tetap berada dalam jahanam selama berabad-abad, karena alam kesadaran berikutnya berada dalam zona abadi yang berlangsung selama-lamanya.
Di dalam neraka terjadi pergolakan yang mahadahsyat, di sana tidak ada kehidupan maupun kematian. Neraka adalah lawan dari cinta dan keterjalinan, kesatuan dan kepastian, yang tertanam dalam jiwa manusia. Jika roh menjalani kehidupan yang kacau, maka wajar kalau ia akan menuju tempat tinggal yang keadaan di dalamnya benar-benar mengerikan. Begitu pula, roh yang hidup dalam keharmonisan maka wajar kalau ia memasuki taman surga. Kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang tidaklah terputus, tapi membentuk suatu rangkaian kesatuan. Yang membedakan hanyalah tingkat kesadaran dan kejelasan serta kesejatian pengalaman. Hal ini dapat diilustrasikan dengan rasa takut orang yang terjaga dari mimpi buruk yang mengerikan, atau, rasa senang dan puas orang yang terjaga dari mimpi indah.
جَزَاءً وِفَاقًا
26. Pembalasan yang setimpal.
Ayat ini menyatakan hasil atau ganjaran yang pantas untuk kehidupan yang tertutup dan ingkar. Jazâ artinya ‘ganjaran atau balasan’. Hasil akhir ini benar-benar sesuai dengan semua yang terjadi sebelumnya. Penciptaan dan perintah Allah benar-benar selaras.
إِنَّهُمْ كَانُوا لَا يَرْجُونَ حِسَابًا
27. Sesungguhnya mereka tidak takut kepada perhitungan,
Mereka, secara individu atau kolektif sebagai bangsa-bangsa, tidak mengharapkan adanya perhitungan (hisâb) terakhir ataupun reaksi terhadap segala perbuatan mereka. Mereka pun tidak menyangka bahwa akhimya akan menjumpai bayangan dari apa yang telah mereka sendiri ciptakan melalui perbuatan dan pemikiran mereka.
وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا كِذَّابًا
28. Dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan pengingkaran yang keras.
Kadzaba artinya ‘berbohong, menipu, atau memperdayakan’. Ini berarti mereka telah mengingkari kebenaran yang temkir dalam diri mereka, kebenaran bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa, bahwa tujuan dari penciptaan adalah tauhid (keesaan), dan bahwa para nabi dan rasul yang membawa kebenaran ini menunjukkan jalan menuju kehidupan yang selaras dengan pola penciptaan yang teradu. Dengan mengingkari ini, berarti mereka telah menipu diri mereka sendiri.
وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ كِتَابًا
29. Dan Kami telah mencatat segala sesuatu dalam sebuah Kitab.
Segala sesuatu dalam kehidupan ini dihimpun di dalam sebuah Kitab tunggal. Segala sesuatu adalah Kitab, dan Kitab itu mengandung segala sesuatu. Segala sesuatu yang ada adalah saling berhubungan dan pada akhirnya berakhir pada satu tempat, tidak ada yang terpisah. Yang mengingkari kebenaran ini berarti telah melanggar dirinya sendiri, dan pelanggaran ini pun tertulis dalam Kitab tersebut. Segala sesuatu telah diperhitungkan dan tercakup dalam Kitab tentang kesejatian ini, Kitab tentang manifestasi, Kitab yang komprehensif tentang qadhâ wa qadar (takdir keputusan Tuhan). Alquran adalah manifestasi yang jelas dari Kitab tersebut.
فَذُوقُوا فَلَن نَّزِيدَكُمْ إِلَّا عَذَابًا
30. Maka rasakanlah! Karena Kami tidak akan menambah apa pun kepadamu selain azab.
‘Maka rasakanlah!’ artinya ‘Sambungkanlah!’ dalam arti pengalaman yang utuh. Kita akan merasakan dan mengetahui sepenuhnya tentang niat kita. Maka, barangsiapa menolak ia akan tertolak. Jika ia menyangkal bahwa hanya ada satu keesaan, bahwa ia menjadi ada karena kerahiman dari keesaan itu, bahwa melalui keesaan ia dipelihara, maka ia akan kembali kepada keesaan tersebut dalam keadaan terpisah dan terserak. Jika ia mengingkari fakta adanya para nabi dan rasul yang mempertegas kebenaran [keesaan] ini dan meninggalkan pesan dalam bentuk Kitab, maka ia telah terpedaya. Akibatnya, yang akan dialaminya di kehidupan akhirat kelak hanyalah keadaan yang penuh pertentangan dan kekacauan. Sekarang ia buta dan tidak mau menyadari kebutaannya, dan di alam kesadaran mendatang ia akan tetap dalam kebutaan semata.
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا
31. Sesungguhnya, orang-orang yang bertakwa akan memperoleh keberhasilan,
Kaum muttaqîn senantiasa menjaga diri, dan sepenuhnya mengetahui batas-batas yang ditetapkan. Mereka menjalani kehidupan ini seolah-olah sedang berjalan lurus sepanjang tepi jurang yang terjal. Kehati-hatian dan kesadarannya yang tinggi (taqwa) mencegah mereka dari melampaui batas sehingga tidak mencelakakan diri mereka sendiri. Kualitas kehati-hatian ini didorong oleh keyakinan yang didasarkan pada pengetahuan, iman.
حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا
32. Disertai taman-taman dan kebun anggur,
وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا
33. Dan teman yang muda-muda dan sebaya umurnya,
Surah ini turun sesuai dengan tingkat pemahaman, tuntutan manusiawi, dan berbagai pengharapan kita di dunia ini. Segala keinginan kita disimbolkan dengan suasana yang sangat menyenangkan dari sebuah taman subur yang penuh dengan bebuahan bergizi dan teman yang saling mengisi, yang usianya sebaya dan menyenangkan. Kawâ’iba atrâbâartinya ‘gadis-gadis muda’ atau ‘teman sebaya’, yang memiliki pemahaman yang cocok.
وَكَأْسًا دِهَاقًا
34. Dan gelas yang penuh.
Penuh dan tidak pernah berkurang sedikit pun. Gelas-gelas mereka selalu penuh, sehingga tidak ada tuntutan dan keinginan. Segala hasrat dan harapan telah dinetralisir sepenuhnya.
لَّا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلَا كِذَّابًا
35. Di sana mereka tidak akan mendengar percakapan yang sia-sia dan dusta,
Laghw artinya ‘percakapan yang sia-sia, omong kosong’, atau ‘tidak berguna’. Akar kata kerjanya adalah laghâ yang berarti ‘berbicara omong kosong’, dan dari kata itu muncullughah yang artinya ‘bahasa’. Bicara akan menepis kesunyian. Dengan kemencolokannya, energi komunikasi bahasa (berbicara) mampu menyisihkan keadaan sebelumnya, yakni, damainya suasana sunyi. Kondisi yang digambarkan di sini adalah suasana taman yang sangat luhur, kesadaran terhadap kedamaian yang paling agung dan sentosa yang tidak akan terganggu ataupun berakhir.
جَزَاءً مِّن رَّبِّكَ عَطَاءً حِسَابًا
36. Ganjaran dari Tuhanmu dan badiah yang sesuai dengan perhitungan.
Inilah ganjaran dan hasil yang setimpal. Rabb artinya ‘Tuhan’, Asma Allah yang menyebabkan pengetahuan kita berkembang mencapai potensi penuhnya dan menyadarkan kita bahwa dalam kehidupan ini kita akan diganjar sesuai dengan perbuatan dan niat kita, dan dalam kehidupan mendatang kita juga akan diciptakan kembali sesuai dengan perbuatan dan niat kita. Proses aksi dan reaksi ini berlangsung dalam keseimbangan yang sempurna, dan terjadi dengan ukuran yang tepat. Keseimbangan ini begitu njlimet sehingga mencakup makna maupun bentuk. Misalnya, perbuatan lahiriah di dunia ini bisa mendatangkan ganjaran pada tingkat mental dan intelektual, atau niat yang baik bisa mendatangkan ganjaran yang bersifat lahiriah.
رَبِّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الرحْمَنِ لَا يَمْلِكُونَ مِنْهُ خِطَابًا
37. Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Pemurah, mereka tak mampu berbicara dengan Dia.
Di sini Allah menyatakan Diri-Nya sebagai Tuhan langit dan bumi. Pemelihara lelangit tentu mengetahui semua yang ada di langit dan di bumi, dan ruang di antara keduanya. Ayat ini menegaskan ruang di antara dua sistem yang berbeda dan menggarisbawahi kenyataan bahwa berbagai subsistem fisik dan energi, yang tunduk pada hukum ukuran dan keterprediksian, dipersatukan oleh aspek realitas lain yang tidak dapat langsung dimengerti oleh kita. Yang memerintah alam duniawi seringkali dapat dilihat dan dapat diukur. Yang memerintah entitas langit juga layak dapat diukur oleh umat manusia karena dua sistem ini tidak terpisah. Negeri yang tak berpenghuni manusia—ruang angkasa—yang sifatnya bisa melepaskan kita ketika kita mengalihkan perhatian dari fisika Newton ke mekanika kuantum, misalnya, berada dalam Ketuhanan yang sama. Setelah mengkaji berbagai sistem, ternyata menurut ilmu fisika, hukum dari satu sistem tidak dapat diterapkan pada semua sistem. Di antara sistem-sistem ini ada ruang antara melalui mana mereka saling berhadapan dan ruang antara tersebut tidak kita mengerti. Setiap modul dapat dimengerti, tapi kesalingberhubungan di antara mereka tidak dapat dimengerti. Fisika Newton dapat dimengerti, tapi hanya sampai batas tertentu. Mekanika kuantum berlaku pada suatu zona di mana fisika Newton tidak dapat dimengerti. Fisika subatomik berbeda dengan fisika Newton maupun mekanika kuantum. Masing-masing ilmu memiliki hukum-hukumnya sendiri. Dalam ruang antara, di antara lelangit dan bumi, ada juga zona-zona yang tidak dapat dikenal, dan semuanya dipelihara oleh Tuhan.
Kata untuk ‘berbicara’ atau ‘berkata’ yang digunakan di sini adalah khithâb yang berasal dari kbathaba, artinya ‘menyampaikan khutbah umum’. Ia juga berarti ‘meminta uluran tangan seorang wanita dalam pemikahan’. Khuthubah artinya ‘pinangan, lamaran’. Semua kata turunan ini menunjukkan komunikasi dan, dengan demikian, hubungan serta penyatuan. Karena itu, pelanggar adalah mereka yang memutuskan hubungan dirinya dengan penguasa realitas fisik dalam kehidupan ini; maka yang dapat Mereka rasakan di kehidupan mendatang hanyalah keterputusan hubungan yang lebih besar lagi.
يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلَائِكَةُ صَفًّا لَّا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْأَذِنَ لَهُ الرحْمَنُ وَقَالَ صَوَابًا
38. Hari ketika roh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf tidak ada yang berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin oleh Tuhan Yang Maha Pemurah, dan yang mengucapkan kata-kata yang benar.
Hari Pembalasan—saat segala amal tidak lagi berlaku—merupakan hari diberlakukannya seperangkat hukum baru yang sudah ada sejak awal. Tubuh kita merupakan sebuah sistem kompleks yang di dalamnya terjadi interaksi yang halus di antara berbagai subsistem yang melibatkan energi kimiawi, listrik, magnetis, mekanis dan fisika, juga kekuatan-kekuatan yang lebih halus lagi, dan masing-masing tunduk pada hukumnya sendiri-sendiri. Hukum yang berlaku di dunia akan datang—setelah berakhirnya kehidupan ini—memiliki sifat lain. Sekarang ini kita menjalani segala sesuatu dengan mengikuti arah waktu tertentu; sedangkan, hancurnya penciptaan akan terjadi seakan-akan arah waktu proses penciptaan diputar balik. Tapi yang dapat kita lakukan saat ini hanyalah menganalisis secara cerdas dan teoritis tentang kehancuran itu, karena pemahaman kita tentang itu sangat-sangat terbatas.
Dalam situasi demikian, kita diberitahu bahwa—sebagai individu-individu—kita tidak akan lagi memiliki kemampuan untuk beramal—kita akan bemar-benar sepenuhnya berada di bawah kendali dan kekuasaan dominion baru. Babak akhir dari drama ini akan ditutup, dan tibalah waktunya untuk mengevaluasi penampilan setiap pemain.
Kata yang diterjemahkan di sini sebagai roh, ruh, berasal dari akar kata yang sama denganrâhah. Kata ini juga berkaitan dengan rîh, yang berarti ‘angin’, mirwahah berarti ‘kipas’, dan istirwâh yang berarti ‘pernapasan’.
Roh adalah unsur halus yang ditiupkan ke dalam diri kita dalam bentuk nyawa, begitu kita menyebutnya. Roh keluar atas perintah Sang Pemelihara dan merupakan wujud halus yang menutupi dirinya dengan tubuh, yang memberinya kesadaran dan kesanggupan untuk bertentangan dan melakukan bermacam-macam kemungkinan. Ketika roh lepas, maka mulailah proses kematian di bumi, dengan meninggalkan tubuhnya.
Pada umumnya kita menerima kemampuan kita untuk beramal dan berbicara sebagaimana adanya, tapi pada Hari Kebangkitan tidak akan terjadi campur tangan amal atau pun lisan. Hanya Sang Maha Pengasih dan Mahasempurna yang akan meliputi segala hal. Tidak akan ada lagi peluang bagi siapa pun untuk melakukan perbuatan jahat. Pelanggaran hanya teijadi dalam kehidupan dunia ini, dalam dimensi ini, dan di sepanjang arah waktu. Satu-satunya pilihan kita di sini adalah mengakui kenyataan bahwa kita tidak punya pilihan. Sama sekali tidak ada pilihan. Mengakui tidak ada pilihan adalah suatu kearifan. Seandainya kita mengetahui apa tindakan terbaik yang harus dilakukan dalam setiap situasi baru, maka pertanyaan tentang pilihan tidak akan muncul, karena akan jelas apa yang mesti dilakukan.
ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَن شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ مَآبًا
39. Itulah Hari yang pasti terjadi—maka siapa yang menghendaki, hendaklah mencari perlindungan kepada Tuhannya.
Pada hari itu, dalam suasana serba baru, keadilan berjalan sempurna: kepastian bahwa kebenaran (haqq) akan berlaku adalah mutlak. Keadilan sejati juga meliputi eksistensi ini, tapi sebagai makhluk yang terbatas kita sering tidak mengetahuinya karena kita tidak dapat memahami semua hubungan timbal-balik di antara berbagai sistem penciptaan yang sangat banyak sekali. Dari sudut pandang Wujud Mutlak tidak pemah ada sedikit pun ketidakadilan. Allah berkata, ‘Aku menciptakan mereka untuk api neraka dan Aku tidak perduli.’ Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan adil, bil-haqq. Hanya manusialah yang, karena kebodohannya, merusak keseimbangan itu sehingga menciptakan ketidakadilan yang nyata.
Ungkapan ‘Maka siapa yang menghendaki, hendaklah mencari perlindungan kepada Tuhannya’ menunjukkan bahwa Allah sedang berbicara kepada orang-orang yang tidak menyadari kenyataan bahwa mereka dipelihara dan disantuni oleh Tuhan. Oleh karena itu ungkapan tersebut merupakan peringatan yang disampaikan kepada mereka yang sekarang berkeinginan untuk menemukan jalan kembali ke Wujud Tunggal yang telah memberi mereka kebebasan untuk menentang. Allah adalah ‘tempat kembali yang berulang-ulang’. Dia berulang-kali menerima kita kembali, laksana seorang ayah yang penuh kasih dan menyadari bahwa anaknya suka melawan sehingga akan pergi dan pergi lagi. Bilamana sang anak kembali pulang, si ayah menyambutnya, dengan tetap sepenuhnya menyadari bahwa kelak anaknya akan pergi lagi.
Sifat rendah manusia penuh dengan kecemasan yang tidak menyenangkan. Tapi bagi orang yang percaya akan belas kasih Allah yang mutlak dan berserah diri kepada-Nya, maka takkan ada kecemasan lagi karena ia menerirna apa yang terjadi padanya sebagai hal terbaik baginya. Dari penerimaan yang tulus ini muncullah kepastian.
Pada Hari Pengadilan, Hari Keputusan, semua keragu-an yang mengandung pertanyaan akan lenyap. Siapa pun yang ingin kembali ke dalam keesaan, yakni warisan sejati yang terkandung dalam hakikatnya, maka ia harus menemukan jalan. Untuk menemukannya kita harus mengetahui semua hal yang bukan jalan itu. Jalan menuju pengenalan Tuhan adalah melalui pengenalan nafs, yakni, dengan mengetahui nafs yang rendah, nafs binatang, nafsyang kuat, nafs yang ragu, nafs yang bertingkah atau bersemangat, dan mengetahui gangguan yang disebabkan oleh semua aspek diri yang rendah ini. Kalau sudah mengetahui semua ciri ini maka orang yang berakal akan mampu menghindarinya dalam situasi yang akan datang, dan segala aspek diri yang lebih tinggi akan secara spontan menjadi terpelihara dan mulai berkuasa.
Diri yang aman dan senang, nafs tinggi yang disucikan, yang tenteram dan damai dalam genggaman Tuhannya, dengan gembira memperkenankan Tuhan untuk berbuat sekehendak-Nya terhadap sang diri dengari mengikuti rancangan yang sempurna. Karena itu, jalan menuju Tuhan terietak pada pengenalan dan penghindaran semua hal yang akan menyebabkan kita rugi dan kacau. Dengan menghindari perkara yang jelas-jelas salah kita akan secara otomatis bergerak ke arah yang benar.
إِنَّا أَنذَرْنَاكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا يَوْمَ يَنظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْيَدَاهُ وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنتُ تُرَابًا
40. Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu tentang azab yang dekat: Hari ketika manusia akan melihat apa yang telah dilakukannya, dan orang kafir akan berkata: ‘Oh, andaikan dahulu aku adalah debu!
Nabi Muhammad, semoga Allah melimpahkan kedamaian dan rahmat kepada beliau, keluarga dan para sahabatnya yang benar (sudah biasa, apabila disebut nama Nabi Muhammad kita memohonkan kedamaian dan rahmat Allah untuk beliau, keluarga dan para sahabatnya yang saleh), memperingatkan umat manusia akan batas-batas tempat berakhirnya ketenangan dan berawalnya kerugian. Beliau mewanti-wanti pelanggaran terhadap ketetapan yang sudah disepakati dan menegaskan bahwa ketetapan itu adil; mengingkari dan menolak ketetapan ini berarti membuka diri terhadap penderitaan yang entah apa akibatnya.
Makna yang paling dalam dari ayat ini adalah bahwa kita menimpakan penderitaan atas diri kita sendiri di sini dan saat ini juga, namun kita tidak menyadarinya karena kita senantiasa memberikan pembenaran terhadap diri kita dengan segala macam alasan. Karena manusia memiliki nafs yang meliputi semua hal yang mengandung dan mencerminkan maknaRahmân (Maha Pengasih), dan juga makna syaithdn (setan), maka ia dapat membenarkan setiap tindakan, mulia atau hina, baik atau buruk. Pembenaran, sesungguhnya, mempakan cara untuk menghubungkan satu hal dengan hal lain. la mencerminkan hasrat sejati kita terhadap tauhid yang memang sudah ada menetap dalam diri kita, tapi sebenarnya merupakan aspek pembenaran yang menyimpang. Siapa pun yang menyatukan niat dan perbuatan, maka ia akan berada dalam keadaan beribadah. la bisa berada pada altar Yang Mahatinggi, yang menghasilkan pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha-kuasa, atau pada altar yang rendah, yang menghasilkan khayalan dan keputusasaan.
Sebagian dari kondisi atau suasana Hari Kebangkitan—ketika segala sesuatu disingkapkan—bisa dirasakan sekarang oleh kita jika kita mau dan sanggup menghentikan pikiran dan perbuatan kita dan mengadakan introspeksi yang menyeluruh terhadap diri kita. Jika kita punya keberanian untuk menghadapi segala niat kita dan secara jujur mengakui tingkat kesucian kita, kita akan melihat sekilas apa arti hari pembalasan ini dan kita akan memahami makna dari keseimbangan.
Pada Hari Pengadilan kita akan direkonstruksi ulang sesuai dengan niat dan perbuatan kita di dunia ini. Jika kita ingin mengetahui kondisi hati kita di kehidupan mendatang, maka yang perlu kita lakukan adalah memeriksa kondisi hati kita di kehidupan ini. Jika kondisi hatinya bersih, maka mmah kita di kehidupan mendatang akan dekat dengan Sumber penciptaan yang bersih. Jika tidak, maka tempatnya akan berada pada suatu tempat di sepan-jang spektrum, di ujung yang satu adalah api abadi dan di ujung satunya lagi adalah taman-taman yang paling tinggi. Jika kita secara total menjalani kehidupan sekarang ini, dengan senantiasa menyadari dan memperhatikan diri kita, maka berarti kita sedang menjalani Hari Kebangkitan itu sekarang.
‘Dan orang-orang kafir akan berkata: Oh, andaikan dahulu aku adalah debu!’ Barangsiapa menyangkal masa lalu, terputus hubungannya dengan masa lalu, dan secara tiba-tiba sadar telah menyia-nyiakan waktu dan kehidupannya yang berharga, maka ia akan berharap seandainya dahulu hanya menjadi debu saja, dan terlupakan. Sayangnya untuk manusia semacam itu tidak ada yang terlupakan. Setiap orang, setiap roh, akan benar-benar dihidupkan kembali dan menyadari sepenuhnya akan arti penting dirinya. Dia tidak akan dapat bersembunyi laksana debu yang sirna di padang pasir. Allah mengatakan bahwa bila seseorang mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, maka kebaikan itu akan muncul di hadapannya. Tidak akan ada lagi ceruk untuk nafs menyelinap masuk; semua gang akan dibuka. Itulah sebabnya jika seseorang sungguh-sungguh menghadapi dirinya sendiri dalam kehidupan sekarang, maka tindakannya ini menjadi Hari Pengadilan pribadinya. Inilah salah satu makna dari ucapan Nabi, ‘Jika engkau mengenal dirimu, engkau mengenal Tuhanmu’, karena urusan Ketuhanan adalah mengungkapkan segala sesuatu secara terbuka dengan segala cara.
Kita semua mencari keabadian pada segala sesuatu dalam kehidupan ini, dalam hubungan dan pengetahuan, dan itulah sebabnya kita membedakan antara pengetahuan yang benar dengan sekadar informasi. Informasi bisa berubah, seperti ketika obat-obat baru dikembangkan untuk mengobati penyakit tertentu. Namun pengetahuan yang benar tidak berubah. Ia bersifat mutlak, dan karena alasan inilah maka kita semua mencarinya. Pengetahuan yang mutlak adalah berita ini, al-naba`. Apa yang mereka tanyakan? Berita apa yang mereka inginkan? Informasi atau berita lebih tinggi apa lagi yang mereka harapkan selain dari berita kebenaran yang menyatakan bahwa yang ada hanyalah Allah, dan dengan inayah-Nya kita telah diciptakan. Bila kita berserah diri kepada Allah dan mengikuti para rasul Allah, kita akan memasuki alam pengetahuan mutlak yang dicari ini.[]